“Sweet Seventeen”
Namaku, Aulia Pratama. Aku lahir pada 15 oktober 1996.
Dari pasangan suami-istri, Pratama dan Sinta. Aku senang, papa dan mama telah
memberikanku kesempatan untuk merasakan indahnya hidup di dunia. Aku sangat
berterima kasih, karna Allah SWT, telah memberikanku keluarga yang begitu
menyayangiku. Tak hanya papa dan mama, bahkan kakekku begitu menyayangiku dan
tak pernah membiarkanku merasa tersakiti oleh siapapun, bahkan jika mama
memarahiku sekalipun.
Ketika itu sekolah tiba-tiba dipulangkan lebih awal,
karena para guru sedang rapat. Dengan bersemangat aku bergegas pulang sambil
menenteng tas punggungku dengan berlari riang. Hingga aku tak sadar, buku
tabungan yang seharusnya aku bawa pulang, ternyata masih tertinggal di sekolah.
Seketika itu pula wajahku berubah panic dan ketakutan, karena watak mamaku yang
keras kala mendidikku, aku tak bisa membayangkan bagaimana mama akan memarahiku
jika aku menjadi anak yang ceroboh dan tidak disiplin.
Ditengah wajahku yang muram, kakek dating menghampiriku,
dan syukurlah, kakek bersedia mengantarkanku kembali ke sekolah untuk mengambil
buku tabunganku.
Kini aku telah duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Seperti
biasa, hidupku yang selalu disiplin oleh didikan mama dan papa, kini semakin
disiplin lagi. Waktu bermainku terbatas, dan waktu belajarku masih ditentukan
oleh mamaku. Kadang aku merasa bosan, setiap hari aku harus belajar tepat
waktu, meskipun papa tak lagi membimbingku dalam belajar, aku harus tetap
belajar meski hanya ditemani di sebelahku. kini aku harus semakin mandiri dan
bertanggung jawab, begitu nasehat mama. Setiap kali hari H penerimaan RAport,
disitulah menjadi momok menakutkan buatku, karna jika aku tak mendapatkan
peringkat 1, maka mama dan papa akan memarahiku, memotong uang saku, dan
menambah waktu belajarku.
Saat itu, aku pulang sekolah pukul 10.30, karna
matahari masih di atas kepala aku pun bergegas untuk mencuci baju-baju kotorku,
tapi seekor ular yang ada di atas atap kamar mandiku membuatku begitu kaget dan
ketakutan, aku bingung kepada siapa aku harus meminta tolong. Aku menangis, menjerit
sambil berlari keluar, hingga kakek mendengar jeritanku. Lagi-lagi kakek
menjadi pahlawan buatku.
Aku begitu menyayangi
kakekku, karna setiap kali ada yang mencoba menyakitiku, kakek selalu datang
untuk menyelamatkanku. Termasuk ketika mama sedang memarahiku, kakek selalu
mencegah hal itu terjadi.
Tahun pun berganti, kini aku sudah semakin besar dan
masih menjadi anak emas di sekolah maupun di keluargaku. Aku tak pernah
sekalipun meninggalkan sekolah ketika hari masuk sekolah, bahkan ketika aku
sedang sakit sekalipun.
Malam itu, papa dan mama tidak ada di rumah. Tiba-tiba
aku merasa tenggorokanku begitu gatal, hingga akhirnya aku memuntahkan cairan
yang bercampur dengan darah. Tak lagi berfikir panjang, akupun segera mengambil
kantong plastic untuk mengantongi darah yang aku muntahkan yang kedua kalinya.
Setelah pap pulang, aku pun memberikan kantong plastic
itu kepadanya, dan menceritakan peristiwa yang baru saja aku alami. Mama dan
papa panic, memaksaku untuk pergi ke dokter. Dengan sangat ketakutan aku
menolaknya.
Pagi itu ibu guru menyuruhku mengambil tasku dan pergi
ke ruang guru, dengan penuh tanda Tanya aku pun menuruti perintahnya. Ternyata papa
ada di situ dan langsung membawaku ke Rumah Sakit, tanpa memberi tahukanku
bahwa beliau akan membawaku ke rumah sakit untuk menjalani ct scan. Betapa marahnya
aku, karna aku harus meninggalkan jam pelajaran di sekolah untuk yang pertama
kalinya.
Papa tak pernah
memberitahukanku hasil dari ct scan itu, meskipun aku tau hasilnya sudah keluar.
Beberapa bulan telah berlalu, aku tak pernah lagi
membahas hasil ct scan itu. Karna aku tau, apapun yang dilakukan papa, itu
pasti yang terbaik untukku juga.
Ketika itu kakek
jatuh sakit dan harus opname di Rumah Sakit karna penyakit paru-paru
menyerangnya, hingga beberapa minggu lamanya, aku tak lagi bisa bercanda-tawa
bersamanya. Bahkan rumahku tampak sepi, karna aku hanya tinggal bersama nenek
di rumah. Semua keluarga sibuk menemani kakek di rumah sakit. Setiap hari aku
menangis, menahan sakit di kepala yang luar biasa aku rasakan, tanpa ditemani
orang-orang yang aku sayangi di rumah. Bahkan aku sangat merindukan kakek dan
menghawatirkan keadaannya. Seringkali aku bermimpi buruk tentang keadaanya. Tapi
do’aku selalu mengiringi desela-sela tangisku.
Setelah beberapa minggu, kakek di bawa oulang ke
rumah, meskipun keadaannya belum sembuh betul. Mama bilang, kakek selalu
merengek ingin pulang, karna sangat ingin melihatku lagi, dan beliau bilang tak
ingin meninggal di RS. Aku langsung menghampiri kakek, ketika ambulans
membawanya sampai ke rumah. Aku senang, namun takut melihat kakek yang masih
belum terlepas dari selang-selang infuse.
Malam itu aku tak ingin meninggalkan kakek sedetikpun,
tapi tanteku membawaku ke kamar dan menidurkanku hingga terlelap. Pukul 23.45,
kakaku membangunkanku dan memberikan kabar duka yang membuatku begitu terpukul.
Kakek telah benar-benar meninggalkanku untuk selama0lamanya. Rasanya jantungku
benar-benar dihujam begitu keras, tubuhku lunglai serasa tak bernyawa lagi.
Hingga pagi tiba, aku baru kuat untuk berjalan dan
melihat jenazah kakek yang sudah terbujur kaku di ruang tamu, yang dikelilingi
banyak orang. Aku melihatnya sampai jenazah beliau benar-benar dibawa untuk
dimakamkan.
Rasanya air mataku
kering hingga tak mampu lagi untuk menetes. Kakakku sangat terpukul dan tiada
hentinya menangis. Aku sedih namun tak sanggup lagi meneteskan air mataku.
Beberapa tahun sudah berlalu, hidupku berubah semenjak
kepergian kakekku. Penyakitku semakin menjadi-jadi, aku sering pingsan, mimisan
dan mengeluarkan darah dari mulut maupun gusi ku.
Mama tak lagi sukar untuk memarahi bahkan memukulku
ketika aku bandel. Tapi saat itu aku benar-benar menjadi anak yang bandel, aku
marah kepada siapapun, rasanya aku ingin memberontak, kenapa secepat itu kakek
meninggalkanku. Aku benci dan takut melihat ambulans, namun aku semakin gigih
untuk meraih cita-citaku menjadi seorang ahli kesehatan, karna aku tak ingin
keluargaku direnggut lagi dariku.
Tahun demi tahun berlalu, hingga kini usiaku mencapai
14 tahun, aku mulai mengenal apa itu cinta. Aku memiliki seorang kekasih yang
begitu mencintai dan menyayangiku. Meski aku tak begitu menginginkannya ada
disisiku. Aku menyayanginya tapi entah, aku tak pernah bisa memperlakukannya
dengan lembut, layaknya sepasang kekasih. Dia selalu mengerti aku, menyayangiku
bahkan memberikan apapun yang aku inginkan tanpa aku harus meminta.
3 tahun sudah aku menjalin hubungan dengan Rizkya
Virgo Dienata. Meskipun LDR, dia selalu meluangkan waktunya untukku. Tiada satupun
dari keluarganya yang tidak mengenalku. Bahkan keluargaku pun welcome dengan
hubungan kami berdua.
Sekarang aku sudah semakin jauh darinya. Sedikit demi
sedikit rasa cintaku telah digantikan oleh seorang pria yang lebih dekat dan
lebih sering menemaniku.
Entah karna apa, tiba-tiba kakakku memberikan kabar
buruk tentang kiki, dia sedang kritis dan dirawat di RS. Ternyata dia mengidap
Miningitis, tanpa sepengetahuanku, dia menyembunyikan penyakit yang sudah lama
menyerangnya itu. Aku menyesal karna tak pernah memberikan kenangan yang indah
semasa dia di sampingku.
1 minggu sudah dia mengalami masa kritisnya hingga
akhirnya terbangun. Aku memberikan senyuman manis untuk menyambutnya, meskipun
air mataku tak berhenti meneteskan air mata. Dia tersenyum dan berkata “terimakasih
sudah memberikanku kenangan indah semasa hidupku, carilah kebahagianmu dengan
siapapun yang kamu kehendaki. Jangan pernah menangis meskipun kamu benar-benar
merasa sakit, senyumlah meski ditengah-tengah badai amarahmu.”. rasanya
kata-kata itu menggugah hatiku, betapa bodohnya aku yang tak pernah sadar akan
ketulusannya.
Hingga akhirnya dia meninggalkanku tepat di hari ulang
tahunnya yang ke 19th. Yang pada 10 hari lagi aku akan berumur 17th.
Aku menyesal, lagi-lagi aku ditinggal oleh orang-orang
yang begitu menyayangiku. Nahkan aku belum sempat membalasnya.
***9 hari kemudian***
Hari ini tanggal 14 oktober, aku jatuh sakit hingga
harus dibawa ke rumah sakit. Penyakitku menyerangku lagi, hingga tepat di hari
ulang tahunku aku harus berada dalam masa kritis. Aku berjuang agar tetap bisa
bertahan melawan segala rasa sakit itu. Hanya cahaya putih yang bisa aku lihat
dan suara isak tangis dari papa dan mama yang aku dengarkan. Aku berjuang untuk
mereka, aku tak ingin mendengar suara tangis itu lagi.
2 hari sudah aku mengalami masa kritisku hingga
keadaanku mulai membaik. Ternyata bunda (mama kiki) sudah menantikanku bangun
untuk memberikan hadiah ulang tahun yang terakhir, yang dibungkuskan oleh
almarhum Kiki. Saat itu aku benar-benar ingin menyusulnya dan menebus semua
kesalahanku semasa hidupnya. Namun aku sadar, bahwa masih ada keluarga yang
menyayangiku dan menginginkanku hidup.
Di hari ulang tahunku yang ke 17th ini, aku
benar-benar melewati masa-masa yang luar biasa. Semoga tahun berikutnya aku
menemukan hari-hari yang lebih membahagiakan. Amiiin Ya Rabb….
Ulfa'atun Sholihah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar