Minggu, 20 Maret 2016

Cerpen Ulfa



“Sweet Seventeen”

Namaku, Aulia Pratama. Aku lahir pada 15 oktober 1996. Dari pasangan suami-istri, Pratama dan Sinta. Aku senang, papa dan mama telah memberikanku kesempatan untuk merasakan indahnya hidup di dunia. Aku sangat berterima kasih, karna Allah SWT, telah memberikanku keluarga yang begitu menyayangiku. Tak hanya papa dan mama, bahkan kakekku begitu menyayangiku dan tak pernah membiarkanku merasa tersakiti oleh siapapun, bahkan jika mama memarahiku sekalipun.
Semasa kecil, aku bersekolah di TK Dharmawanita Cerme. Di sana aku mempunyai seorang ibu guru yang cantik dan baik hati. Dia mengajariku dengan penuh kasih sayang, dia adalah teman dari papa. Dia tak pernah membiarkan teman-teman nakal menggangguku.
Ketika itu sekolah tiba-tiba dipulangkan lebih awal, karena para guru sedang rapat. Dengan bersemangat aku bergegas pulang sambil menenteng tas punggungku dengan berlari riang. Hingga aku tak sadar, buku tabungan yang seharusnya aku bawa pulang, ternyata masih tertinggal di sekolah. Seketika itu pula wajahku berubah panic dan ketakutan, karena watak mamaku yang keras kala mendidikku, aku tak bisa membayangkan bagaimana mama akan memarahiku jika aku menjadi anak yang ceroboh dan tidak disiplin.
Ditengah wajahku yang muram, kakek dating menghampiriku, dan syukurlah, kakek bersedia mengantarkanku kembali ke sekolah untuk mengambil buku tabunganku.
Kini aku telah duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Seperti biasa, hidupku yang selalu disiplin oleh didikan mama dan papa, kini semakin disiplin lagi. Waktu bermainku terbatas, dan waktu belajarku masih ditentukan oleh mamaku. Kadang aku merasa bosan, setiap hari aku harus belajar tepat waktu, meskipun papa tak lagi membimbingku dalam belajar, aku harus tetap belajar meski hanya ditemani di sebelahku. kini aku harus semakin mandiri dan bertanggung jawab, begitu nasehat mama. Setiap kali hari H penerimaan RAport, disitulah menjadi momok menakutkan buatku, karna jika aku tak mendapatkan peringkat 1, maka mama dan papa akan memarahiku, memotong uang saku, dan menambah waktu belajarku.
Saat itu, aku pulang sekolah pukul 10.30, karna matahari masih di atas kepala aku pun bergegas untuk mencuci baju-baju kotorku, tapi seekor ular yang ada di atas atap kamar mandiku membuatku begitu kaget dan ketakutan, aku bingung kepada siapa aku harus meminta tolong. Aku menangis, menjerit sambil berlari keluar, hingga kakek mendengar jeritanku. Lagi-lagi kakek menjadi pahlawan buatku.
Aku begitu menyayangi kakekku, karna setiap kali ada yang mencoba menyakitiku, kakek selalu datang untuk menyelamatkanku. Termasuk ketika mama sedang memarahiku, kakek selalu mencegah hal itu terjadi.
Tahun pun berganti, kini aku sudah semakin besar dan masih menjadi anak emas di sekolah maupun di keluargaku. Aku tak pernah sekalipun meninggalkan sekolah ketika hari masuk sekolah, bahkan ketika aku sedang sakit sekalipun.
Malam itu, papa dan mama tidak ada di rumah. Tiba-tiba aku merasa tenggorokanku begitu gatal, hingga akhirnya aku memuntahkan cairan yang bercampur dengan darah. Tak lagi berfikir panjang, akupun segera mengambil kantong plastic untuk mengantongi darah yang aku muntahkan yang kedua kalinya.
Setelah pap pulang, aku pun memberikan kantong plastic itu kepadanya, dan menceritakan peristiwa yang baru saja aku alami. Mama dan papa panic, memaksaku untuk pergi ke dokter. Dengan sangat ketakutan aku menolaknya.
Pagi itu ibu guru menyuruhku mengambil tasku dan pergi ke ruang guru, dengan penuh tanda Tanya aku pun menuruti perintahnya. Ternyata papa ada di situ dan langsung membawaku ke Rumah Sakit, tanpa memberi tahukanku bahwa beliau akan membawaku ke rumah sakit untuk menjalani ct scan. Betapa marahnya aku, karna aku harus meninggalkan jam pelajaran di sekolah untuk yang pertama kalinya.
Papa tak pernah memberitahukanku hasil dari ct scan itu, meskipun aku tau hasilnya sudah keluar.
Beberapa bulan telah berlalu, aku tak pernah lagi membahas hasil ct scan itu. Karna aku tau, apapun yang dilakukan papa, itu pasti yang terbaik untukku juga.
Ketika itu kakek jatuh sakit dan harus opname di Rumah Sakit karna penyakit paru-paru menyerangnya, hingga beberapa minggu lamanya, aku tak lagi bisa bercanda-tawa bersamanya. Bahkan rumahku tampak sepi, karna aku hanya tinggal bersama nenek di rumah. Semua keluarga sibuk menemani kakek di rumah sakit. Setiap hari aku menangis, menahan sakit di kepala yang luar biasa aku rasakan, tanpa ditemani orang-orang yang aku sayangi di rumah. Bahkan aku sangat merindukan kakek dan menghawatirkan keadaannya. Seringkali aku bermimpi buruk tentang keadaanya. Tapi do’aku selalu mengiringi desela-sela tangisku.
Setelah beberapa minggu, kakek di bawa oulang ke rumah, meskipun keadaannya belum sembuh betul. Mama bilang, kakek selalu merengek ingin pulang, karna sangat ingin melihatku lagi, dan beliau bilang tak ingin meninggal di RS. Aku langsung menghampiri kakek, ketika ambulans membawanya sampai ke rumah. Aku senang, namun takut melihat kakek yang masih belum terlepas dari selang-selang infuse.
Malam itu aku tak ingin meninggalkan kakek sedetikpun, tapi tanteku membawaku ke kamar dan menidurkanku hingga terlelap. Pukul 23.45, kakaku membangunkanku dan memberikan kabar duka yang membuatku begitu terpukul. Kakek telah benar-benar meninggalkanku untuk selama0lamanya. Rasanya jantungku benar-benar dihujam begitu keras, tubuhku lunglai serasa tak bernyawa lagi.
Hingga pagi tiba, aku baru kuat untuk berjalan dan melihat jenazah kakek yang sudah terbujur kaku di ruang tamu, yang dikelilingi banyak orang. Aku melihatnya sampai jenazah beliau benar-benar dibawa untuk dimakamkan.
Rasanya air mataku kering hingga tak mampu lagi untuk menetes. Kakakku sangat terpukul dan tiada hentinya menangis. Aku sedih namun tak sanggup lagi meneteskan air mataku.
Beberapa tahun sudah berlalu, hidupku berubah semenjak kepergian kakekku. Penyakitku semakin menjadi-jadi, aku sering pingsan, mimisan dan mengeluarkan darah dari mulut maupun gusi ku.
Mama tak lagi sukar untuk memarahi bahkan memukulku ketika aku bandel. Tapi saat itu aku benar-benar menjadi anak yang bandel, aku marah kepada siapapun, rasanya aku ingin memberontak, kenapa secepat itu kakek meninggalkanku. Aku benci dan takut melihat ambulans, namun aku semakin gigih untuk meraih cita-citaku menjadi seorang ahli kesehatan, karna aku tak ingin keluargaku direnggut lagi dariku.
Tahun demi tahun berlalu, hingga kini usiaku mencapai 14 tahun, aku mulai mengenal apa itu cinta. Aku memiliki seorang kekasih yang begitu mencintai dan menyayangiku. Meski aku tak begitu menginginkannya ada disisiku. Aku menyayanginya tapi entah, aku tak pernah bisa memperlakukannya dengan lembut, layaknya sepasang kekasih. Dia selalu mengerti aku, menyayangiku bahkan memberikan apapun yang aku inginkan tanpa aku harus meminta.
3 tahun sudah aku menjalin hubungan dengan Rizkya Virgo Dienata. Meskipun LDR, dia selalu meluangkan waktunya untukku. Tiada satupun dari keluarganya yang tidak mengenalku. Bahkan keluargaku pun welcome dengan hubungan kami berdua.
Sekarang aku sudah semakin jauh darinya. Sedikit demi sedikit rasa cintaku telah digantikan oleh seorang pria yang lebih dekat dan lebih sering menemaniku.
Entah karna apa, tiba-tiba kakakku memberikan kabar buruk tentang kiki, dia sedang kritis dan dirawat di RS. Ternyata dia mengidap Miningitis, tanpa sepengetahuanku, dia menyembunyikan penyakit yang sudah lama menyerangnya itu. Aku menyesal karna tak pernah memberikan kenangan yang indah semasa dia di sampingku.
1 minggu sudah dia mengalami masa kritisnya hingga akhirnya terbangun. Aku memberikan senyuman manis untuk menyambutnya, meskipun air mataku tak berhenti meneteskan air mata. Dia tersenyum dan berkata “terimakasih sudah memberikanku kenangan indah semasa hidupku, carilah kebahagianmu dengan siapapun yang kamu kehendaki. Jangan pernah menangis meskipun kamu benar-benar merasa sakit, senyumlah meski ditengah-tengah badai amarahmu.”. rasanya kata-kata itu menggugah hatiku, betapa bodohnya aku yang tak pernah sadar akan ketulusannya.
Hingga akhirnya dia meninggalkanku tepat di hari ulang tahunnya yang ke 19th. Yang pada 10 hari lagi aku akan berumur 17th.
Aku menyesal, lagi-lagi aku ditinggal oleh orang-orang yang begitu menyayangiku. Nahkan aku belum sempat membalasnya.
***9 hari kemudian***
Hari ini tanggal 14 oktober, aku jatuh sakit hingga harus dibawa ke rumah sakit. Penyakitku menyerangku lagi, hingga tepat di hari ulang tahunku aku harus berada dalam masa kritis. Aku berjuang agar tetap bisa bertahan melawan segala rasa sakit itu. Hanya cahaya putih yang bisa aku lihat dan suara isak tangis dari papa dan mama yang aku dengarkan. Aku berjuang untuk mereka, aku tak ingin mendengar suara tangis itu lagi.
2 hari sudah aku mengalami masa kritisku hingga keadaanku mulai membaik. Ternyata bunda (mama kiki) sudah menantikanku bangun untuk memberikan hadiah ulang tahun yang terakhir, yang dibungkuskan oleh almarhum Kiki. Saat itu aku benar-benar ingin menyusulnya dan menebus semua kesalahanku semasa hidupnya. Namun aku sadar, bahwa masih ada keluarga yang menyayangiku dan menginginkanku hidup.
Di hari ulang tahunku yang ke 17th ini, aku benar-benar melewati masa-masa yang luar biasa. Semoga tahun berikutnya aku menemukan hari-hari yang lebih membahagiakan. Amiiin Ya Rabb….


Ulfa'atun Sholihah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar